RSS

Sinetron dalam Industri Media Komunikasi

Dosen: Bpk. Iswandi Syahputra
Tanggal: Rabu, 27 April 2011

Televisi 
Stasiun televisi di Indonesia ada sejak berdirinya TVRI pada 1962 silam. Selama 27 tahun, penduduk Indonesia hanya bisa menyaksikan satu saluran saja. Namun pada tahun 1989, Pemerintah akhirnya mengizinkan RCTI sebagai stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, meski hanya penduduk yang mempunyai antena parabola dan dekoderlah yang dapat menyaksikan RCTI, walaupun pada akhirnya dibuka untuk masyarakat mulai tanggal 21 Maret 1992 di Bandung.

10 stasiun TV swasta yang bersiaran nasional (berjaringan):
1. antv
2. Global TV
3. Indosiar
4. MetroTV
5. MNCTV
6. RCTI
7. SCTV
8. Trans TV
9. Trans7
10. tvOne 

 Jumlah stasiun TV swasta lokal di Indonesia*:

•Jumlah stasiun TV lokal yang telah bersiaran 119.

•105 diantaranya adalah stasiun TV lokal yang telah mendapat IPP Prinsip.

•Sedangkan 14 lainnya adalah Stasiun TV lokal yang telah mendapat IPP Existing. 

•Jumlah pemohon TV swasta sampai Juli 2010 adalah 93 Pemohon yang tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia.

*Data sampai awal Juni 2010


Kehidupan kita sudah sangat terikat dengan kehadiran televisi. Televisi seolah tidak dapat lepas dalam kegiatan sehari-hari baik ketika sedang makan, kumpul keluarga dan lain-lain, seluruhnya hampir berhubungan dengan televisi. Televisi menjadi tempat kita mencari informasi, mencari referensi, mencari hiburan, dll. Masyarakat menaruh kepercayaan yang sangat besar pada televisi dalam mencari informasi yang pada kenyataannya televisi memiliki agenda tersendiri untuk memenuhi kepentingan pemiliknya sehingga tidak jarang informasi yang ditampilkan juga tidak objektif. Televisi juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penontonnya karena telah dianggap sebagai media terpercaya dalam memberi berbagai informasi. 

Pertumbuhan stasiun TV sangat pesat karena secara umum saat ini dunia berada dalam era teknologi informasi/komunikasi. Secara khusus, di Indonesia hal itu terjadi karena;
•Pasar penonton yang menjanjikan
•Cakupan wilayah yang luas
•Maraknya pertumbuhan Production House (kurang lebih sebanyak 250-an)
•Pola menonton masyarakat yang tidak sehat (Heavy Viewer)
 


Kondisi ini menimbulkan persaingan yang juga tidak sehat antara stasiun televisi. Para pemilik program televisi berlomba-lomba dalam mengejar rating yang tinggi sehingga berimplikasi pada keragaman acara. Televisi juga menjadi alat penopang kekuasaan ekonomi dan politik sehingga media sering kali berpihak pada pemilik yang lebih berkuasa dengan agenda setting untuk kepentingan-kepentingan politiknya. 

Rating 
Rating adalah evaluasi atau penilaian atas sesuatu. Rating merupakan data kepemirsaan televisi. Data merupakan hasil pengukuran secara kuantitatif. Jadi rating bisa dikatakan sebagai rata-rata pemirsa pada suatu program tertentu yang dinyatakan sebagai persentase dari kelompok sampel atau potensi total.

Pengertian yang lebih mudah, rating adalah jumlah orang yang menonton suatu program televisi terhadap populasi televisi yang di persentasekan. 


Data kepemirsaan TV itu dihasilkan berdasarkan survei kepemirsaan TV (TV Audience Measurement/ TAM). Di Indonesia survei kepemirsaan televisi kini diselenggarakan oleh AGB Nielsen Media Research (AGB NMR).

Pengoperasian dan prosedur standar survei kepemirsaan TV yang mengacu pada GGTAM harus melalui tujuh proses pokok yaitu:

1. TV Establishment Survey, menentukan populasi keluarga yang memiliki TV di 10 kota besar.

2. Pemilihan Panel, setiap panel memiliki karakteristik berbeda.

3. Metering Equipment (TVM-5) adalah pemasangan di rumah tangga panel.

4. Pengumpulan Data, data dapat dikumpulkan melalui 2 cara yaitu secara on line dan off line polling.

5. The Production (Pollux System) adalah saat  pemerosesan data.

6. TV Monitoring, data digabung dengan data monitoring program TV dan iklan.

7. Pengiriman Data (via Arianna), merupakan software yang harus dimiliki pelanggan yang dapat diakses setiap jam 10 pagi.


Cara kerja perhitungan rating televisi yaitu Nielsen memberikan panel (powermeter). Panel TAM di Indonesia saat ini mengukur 1.651 rumahtangga yang memiliki TV di 9 kota besar yaitu: Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek), Surabaya dan sekitarnya (Gerbangkertasusila), Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Yogyakarta dan sekitarnya (DIY Yogya + Sleman & Bantul), Palembang dan Denpasar. Panel utama ini hanya mengukur kepemirsaan TV terrestrial. Terpisah dari panel utama ini di Jakarta, terdapat 150 panel rumahtangga yang berlangganan TV Kabel. (Pay TV panel).
Service: AGB Nielsen Media Researh memfokuskan layanan surveynya pada TAM (Survey Kepemirsaan Televisi) dan survey-survey lainnya yang berhubungan dengan Televisi.


Semua tayangan yang mendapat rating tinggi belum tentu memiliki kualitas tinggi menurut pemirsa (hasil penelitian Program Studi Televisi IKJ, 2006).

Sebaliknya, tidak semua tayangan yang kualitas tinggi memiliki rating yang tinggi, (hasil penelitian Yayasan SET, 2007)

Contoh tayangan dengan rating tinggi tapi kualitas rendah ; 

•Putri yang di Tukar (RCTI) 



•Uya Emang Kuya (SCTV) 


•OVJ (Trans 7)   

Contoh tayangan dengan kualitas tinggi tapi rating rendah ; 
•Kick Andy (Metro TV) 


•Oasis (Metro TV) 


  • Dunia Binatang (Trans 7)



Sinetron 
Sinema elektronik yang biasanya lebih sering disebut dengan sinetron merupakan serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan di stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera (opera sabun), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela. Menurut hasil wawancara dengan Teguh Karya yang merupakan sutradara terkenal asal Indonesia, istilah yang digunakan secara luas di Indonesia ini pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono, merupakan salah satu pendiri dan mantan pengajar Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Sinetron pada dasarnya hampir menyerupai cerita film-film pada umumnya yaitu bercerita tentang gambaran kehidupan sehari-hari seorang atau beberapa karakter utama dengan berbagai situasi yang digambarkan. Biasanya dimulai dengan pengenalan karakter utama lalu  mulai timbul permasalahan yang biasanya semakin lama semakin runyam hingga mencapai titik paling klimaks dari permasalahan yang pada akhirnya berakhir bahagia maupun sedih tergantung dari penulis skenario. 
Banyaknya episode biasanya tergantung dari rating sebuah sinetron, apabila rating tinggi maka biasanya sinetron menjadi beratus-ratus seri yang diputar hampir sepanjang tahun sedangkan sinetron dengan rating rendah biasanya akan berakhir cepat atau alur cerita dibuat hampir menyerupai alur sinetron lain yang memiliki rating tinggi pada masanya atau bisa juga sinetron dibuat tamat dan diganti dengan sinetron baru yang menyerupai alur sinetron dengan rating yang tinggi. Keseragaman cerita sering terjadi dalam sinetron bahkan dalam waktu yang bersamaan dan tidak jarang pula para pemain yang sama dipasangkan berulang-ulang dan sering dimunculkan dalam beberapa judul sinetron. 
Banyak orang yang mengeluhkan bahwa cerita yang semakin panjang dalam sinetron cenderung mengurangi kualitas cerita yang ada namun sayangnya tidak sedikit pula yang menikmati sinetron sebagai hiburan mereka sehari-hari yang seolah mulai kehilangan kualitas dalam membedakan film yang berguna dan tidak. 


McCombs dan Shaw (1972) menguji dasar teori Agenda Setting Media:
•Media massa mempengaruhi penilaian pemilih mengenai apa yang mereka pikir isu utama suatu kampanye Presiden di AS. 
Friming berita dan agenda setting dapat menentukan pilihan khalayak dalam pemilu Presiden di AS.
•Skema agenda setting media menjelaskan, melalui teknik friming, media massa dapat menciptakan dan menentukan berbagai agenda publik. Kebutuhan tersebut seakan-akan harus segera dipenuhi oleh negara (pemerintah).

 •Agenda media bermorfosis menjadi agenda publik. Pada titik ini, agenda media memiliki kekuatan membentuk opini publik.
•Opini publik memiliki kekuatan mendorong (mendesak) negara/pemerintah sebagai policy maker

•Kasus Prita Mulya Sari vs RS Omni International atau penahanan Bibit/Chandra membuktikan kekuatan agenda setting media.
 
Kritik terhadap Agenda Setting
Menurut Gene Burd, terdapat beberapa catatan penting buat penelitian agenda setting selama ini yaitu ; 
• Terlalu terpusat pada media massa. 
• Terlalu banyak mendasarkan pada model garis pertemuan produksi dan pembentuk pendapat publik. 
• Menggunakan media massa sebagai mesin pendidikan raksasa yang efektif untuk mensosialisasikan pada publik untuk menerima kebijakan yang dibuat oleh jurnalis. 
• Menganggap publik sebagi individu atomistik (homogen, masyarakat massa). 
• Komunikasi dilihat sebagai transmisi.

 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. 

KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran(Pasal 7 UU 32/2002). Faktanya, KPI hanya mengurusi isi siaran. 
KPI memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi (Pasal 55 UU 32/2002) berupa :
–teguran tertulis;
–penghentian sementara
–pembatasan durasi dan waktu siaran;
–denda administratif;
–pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
–tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
–pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. 
Faktanya: Tidak semua sanksi bisa diterapkan.  

 



Kesimpulan:

Apakah anda penggemar sinetron? sinetron Indonesia masih cenderung berisi adegan-adegan yang terkesan dipaksakan / kaku dan sarat dengan kekerasan baik verbal maupun non verbal. Adegan yang dibuat hampir memiliki kemiripan antar satu sinetron dengan lainnya sehingga tak jarang menimbulkan kebosanan. Inti cerita juga sering kali hanya berkisar percintaan, kekerasan, mistik dan seks yang mengandung pesan moral yang lemah atau bahkan tidak mengajarkan apa-apa sama sekali. Dalam beberapa tayangan yang tersegmen juga sering ditemukan materi-materi yang tidak sesuai dengan target penonton yang dituju, seperti misalnya tayangan yang bebau seks atau pornografi pada tayangan film anak. Para produser sering kali hanya mementingkan rating yang tinggi dan pemasukan tanpa batas dari sinetron sehingga sering kali tidak memperhatikan nilai-nilai penting dalam film. 
Sangat disayangkan dalam hal ini masyarakat Indonesia justru menyukai tayangan-tayangan sinetron yang menyajikan tontonan tanpa menggunakan otak. Masyarakat menjadi terbiasa karena pilihan yang serba terbatas sehingga sinetron mulai menjadi gaya hidup setiap kali menyetel televisi dan menjadikannya kewajaran bahwa tayangan yang menghibur adalah layaknya sinetron.


Source:
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2010/05/13/siaran-lawak-di-televisi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik 
http://www.karawanginfo.com/wp-content/uploads/2009/12/Matikan-TV-Mu.jpg 
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_stasiun_televisi_di_Indonesia 
http://priyambodo.blogspot.com/2007/07/cara-kerja-perhitungan-rating-acara.html 
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Penyiaran_Indonesia 

Pemasaran Politik

Dosen: Bpk. Eko Harry Susanto
Tanggal: Rabu, 20 April 2011


Pemasaran politik atau yang sering disebut juga dengan Political Marketing merupakan cara untuk mengemas pencitraan, publik figur dan kepribadian (Personality) seorang kandidat yang berkompetisi dalam konteks Pemilihan Umum (Pemilu) kepada masyarakat luas yang akan memilihnya (Ibham: 2008). Sehingga tujuan dari pemasaran politik adalah bagaimana membantu partai politik untuk dapat mengenal masyarakat lebih baik lagi baik masyarakat yang diwakili atau menjadi target dan kemudian mengembangkan berbagai isu politik yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.


Marketing politik adalah variasi dari kebijakan komunikasi pemasaran untuk mempromosikan seorang atau proyek politik dengan menggunakan model teknik pemasaran komersial sebagai mewakili seperangkat metode yang dapat digunakan oleh organisasi-organisasi politik untuk pencapaian tujuan dalam hal program politik atau dalam memengaruhi perilaku para pemilih dengan melakukan propaganda.


Menurut Kotler and Neil (1999:3) pengertian Political Marketing yaitu;
“Suatu penggiatan pemasaran untuk menyukseskan kandidat atau partai politik dengan segala aktivitas politiknya melalui kampanye program pembangunan perekonomian atau kepedulian sosial, tema, isu-isu, gagasan, ideologi, dan pesan-pesan bertujuan program politik yang ditawarkan memiliki daya tarik tinggi dan sekaligus mampu mempengaruhi bagi setiap warga negara dan lembaga/organisasi secara efektif.”
Dalam pemasaran politik dikenal juga istilah publistitas politik. Publisitas merupakan upaya memopulerkan diri kandidat yang bersaing. Terdapat empat bentuk publisitas yang dikenal dalam ranah komunikasi politik;
1. Pure publicity yang artinya memopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural, alami atau apa adanya. Seperti misalnya pada hari raya terterntu seperti hari Ibu atau hari Kartini, kandidat bisa saja beriklan di televisi untuk mengucapkan "Selamat hari Kartini/hari ibu" yang biasanya akan semakin membuat masyarakat menyadari dan mengingat keberadaan kandidat tersebut.


2. Free ride publicity yaitu publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut memopulerkan diri. Misalnya saja dengan tampil menjadi pembicara di sebuah seminar yang diselenggarakan pihak lain, menjadi sponsor gerakan anti-narkoba, turut berpartisipasi dalam kampanye lingkungan atau kegiatan kemanusiaan dan sosial lainnya. 

3. Tie-in publicity yaitu dengan memanfaatkan extraordinary news (kejadian sangat luar biasa) untuk mempopulerkan diri mereka. Misalnya saja peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi sehingga dampaknya dapat memperoleh simpati masyarakat. Sebuah peristiwa luar biasa biasanya akan dengan sendirinya memikat media-media untuk meliput sehingga partisipasi dalam peristiwa semacam itu biasanya akan sangat menguntungkan kandidat tersebut.
4. Paid publicity merupakan cara memopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan spot, iklan kolom, display ataupun juga blocking time program di media massa. Secara sederhananya dengan menyediakan anggaran khusus untuk belanja media. Iklan seperti ini bisa saja mengeluarkan dana yang besar namun memiliki dampak yang juga cukup luas untuk mendapat perhatian dari masyarakat.  



Menurut Yulianti (2004), iklan politik televisi muncul pertama kali tahun 1952 dan selalu sarat dengan kontroversi. Contohnya iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, yang kondang disebut iklan “Bunga Daisy”. Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan api dan asap yang membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan ketakutan rakyat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson, untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet. Iklan politik itu hanya ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah kontroversi menjadi perdebatan publik. “Bunga Daisy” merupakan satu dari ratusan iklan politik sepanjang lebih dari 50 tahun sejarah perkembangannya. Iklan politik selalu menarik perhatian publik AS selama 13 kali pemilihan presiden, meski diperlukan uang luar biasa besar. Pada kampanye Pemilu 1988, tiap calon presiden mengeluarkan dana rata-rata 228 juta dollar AS untuk belanja iklan politik. Jumlah ini sekitar 8,4 persen dari biaya kampanye keseluruhan.




Pendekatan kampanye politik atau political campaign approach selain untuk mendukung penggiatan pemasaran politik atau political marketing activity juga bertujuan untuk:
1. Membentuk preferensi bagi pihak setiap pemilih dalam menentukan suaranya.
2. Ingin merangkul simpati pihak kelompok-kelompok atau the third influencer of person and groups seperti tokoh masyarakat, agama, adat, eksekutif dan artis atau selebritis terkenal lainnya.
3. Memiliki daya tarik bagi kalangan media massa baik cetak maupun elektronik, termasuk memanfaatkan penggunaan atribut kanpanye, poster, spanduk, iklan politik di media-massa, termasuk melalui situs atau blog internet untuk mempengaruhi pembentukan opini publik dan citra secara positif demi kepentingan membangun popularitas tinggi atau menebar pesona sang kandidat dan aktivitas partai politik yang bersangkutan sebagai kandidat yang siap berlaga dalam setiap siklus pelaksanaan Pemilihan Umum.

Menurut Lees-Marshment (2005: 5–6), produk dari partai politik terdiri atas delapan komponen yaitu:
  1. kepemimpinan (leadership) yang mencakup kekuasaan, citra, karakter, dukungan, pendekatan,hubungan dengan anggota partai, dan hubungan dengan media.
  2. anggota parlemen (members of parliament) yang terdiri atas sifat kandidat, hubungan dengan konstituen.
  3. keanggotaan (membership) dengan komponen-komponen kekuasaan, rekrutmen, sifat (karakter ideologi, kegiatan, loyalitas, tingkah laku, dan hubungan dengan pemimpin.
  4. staf (staff), termasuk di dalamnya peneliti, para profesional, dan penasihat.
  5. simbol (symbol) yang mencakup nama, logo, lagu/ himne.
  6. konstitusi (constitution) berupa aturan resmi dan konvensi.
  7. kegiatan (activities), di antaranya konferensi, rapat partai.
  8. kebijakan (policies) berupa manifesto dan aturan yang berlaku dalam partai. Jika kita cermati dengan saksama, kedelapan produk tersebut tidak lain tidak bukan adalah ”isi perut” partai politik.


Seperti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan politik tak lain adalah mempersuasi dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut iklan politik tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan (pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu (issues posisition) dan kandidat mewakili siapa (group ties). Isi (content) Iklan politik senantiasa berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track record-nya) dan pengalamannya. Iklan politik, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara dan musik.



Iklan politik khususnya iklan audiovisual memainkan peranan strategis dalam political marketing. Nursal (2004: 256) mengutip Riset Falkowski & Cwalian (1999) dan Kaid (1999) menunjukkan iklan politik berguna untuk beberapa hal berikut:
  1. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat
  2. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidak-pastian pilihan karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.
  3. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.
  4. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu
  5. Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional
  6. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik



Lebih jauh iklan politik juga berfungsi membentuk citra kandidat. Iklan sebagai bagian dari marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Menurut Peteraf dan Shanley (1997) citra bukan sekadar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau group. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional. Image politik, menurut Herrop (1990), dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Di sini, image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik.


Diagram proses marketing politik
Sumber: Niffenegger (1989) dikutip oleh Firmanzah (2007) 

Nursal (2004: 234) mengadaptasi Kotler (1995) dan Peter dan Olson (1993), ada beberapa tahap respon pemilih terhadap stimulasi tersebut:
  1. Awareness yaitu bila seseorang dapat mengingat atau menyadari bahwa sebuah pihak tertentu merupakan sebuah kontestan Pemilu. Dengan jumlah kandidat Pemilu yang banyak, membangun kesadaran akan keberadaannya ternyata cukup sulit dilakukan, khususnya bagi partai-partai baru. Seperti sudah menjadi hukum political marketing, umumnya para pemilih tidak akan menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengingat nama-nama kontestan tersebut.
  2. Knowledge adalah ketika seorang pemilih mengetahui beberapa unsur penting mengenai produk kontestan tersebut baik substansi maupun presentasi. Unsur-unsur itu akan diinterpretasikan sehingga membentuk makna politis tertentu dalam pikiran pemilih. Dalam pemasaran produk komersial, tahap ini disebut juga sebagai tahap pembentuk brand association dan perceived quality.
  3. Liking merupakan tahap di mana seorang pemilih menyukai kontestan tertentu karena satu atau lebih makna politis yang terbentuk di pikirannya sesuai dengan aspirasinya.
  4. Preference merupakan tahap di mana pemilih menganggap bahwa satu atau beberapa makna politis yang terbentuk sebagai interpretasi terhadap produk politik sebuah kontestan tidak dapat dihasilkan secara lebih memuaskan oleh kontestan lainnya. Dengan demikian, peniilih tersebut memiliki kecenderungan unluk memilih kontestan tersebut.
  5. Conviction, pemilih tersebut sampai pada keyakinan untuk memilih kontestan tertentu.




Pemilih sendiri memiliki bermacam-macam tipe yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tipe-tipe pemilih dapat dibedakan sebagai berikut (Firmanzah, 2007):
1. Pemilih Rasional
Pemilih rasional memiliki orientasi yang tinggi pada pemecahan masalah politik atau “policy-problem-solving” dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kinerja partai politik atau calon kandidat dalam program kerjanya.
2. Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis.
3. Pemilih Tradisional
Pemilih tradisional memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal usul, faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Di  Indonesia sendiri pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kandidat, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih skeptis sangat kurang karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan platform dan kebijakan sebuah partai politik.

Kesimpulan:
Menjelang pemilu atau pilkada baik pemilihan calon presiden, gubernur, walikota, anggota DPR atau jabatan apapun para calon kandidat biasanya akan saling berlomba-lomba untuk memperkenalkan, mempopulerkan dan mempromosikan dirinya dengan mengembangkan berbagai isu politik yang kiranya dibutuhkan oleh para pemilihnya untuk memenangkan hati pemilihnya. Berbagai cara biasanya dilakukan untuk mendapat perhatian hingga terpilih namun banyak dari mereka yang terpilih kemudian berbalik mengecewakan rakyat karena tidak sanggup memenuhi segala janji menjelang promosinya. 






Source:
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates